BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masyarakat
madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society
yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26
September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak
menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang
memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang
diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut
Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat
yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang
dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah
(al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum
Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf
sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2:
185).
Sebelum
kita mencoba membahas budaya demokrasi, perlu kita ketahui bersama tentang
macam – macam demokrasi. Berdasarkan cara penyampaian kehendak rakyatnya, kita
dapat membedakan demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung
adalah sitem pemerintahan dimana rakyat secara langsung turut serta dalam
menetapkan garis – garis kebijakan pemerintahan yang baik dalam pembuatan
undang – undang. Sedangkan demokrasi tidak langsung adalah sistem
demokrasi dimana aspirasirakyat disalurkan melalui lembaga perwakilan rakyat.
Di
Negara modern dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan semakin kompleksnya
permasalahan kenegaraan serta dengan berbagai kesibukan warga negaradalam
menuntut pemenuhan kebutuhan hidup dan profesionalisme sebagai negarawan, maka
demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi perwakilan/ tidak langsung.
Pelaksanaan
demokrasi perwakilan adalah melalui Pemilihan Umum, yang termasuk salah satu
budaya demokrasi Negara kita. Oleh sebab itu, pemilu merupakan salah satu cirri
dari demokrasi, bahkan dikatakan sebagai pesta demokrasi.
Budaya
politik merupakan pendekatan yang cukup akhir di dalam ilmu politik. Pendekatan
ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti Amerika
Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba. Hasil penelitian tersebut
dituangkan di dalam buku mereka Budaya Politik, yang merupakan hasil
kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar
di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat.
Budaya
politik berarti kecenderungan berperilaku individu terhadap sistem politik yang
berlaku di negaranya. Dalam pendekatan budaya politik, individu merupakan
subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat orang per
oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan pendekatan
filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab pendapat
dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan, atau
paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.
Sementara
itu, sosialisasi politik merupakan instrumen yang berupaya melestarikan sebuah
sistem politik. Melalui serangkaian mekanisme dalam sosialisasi politik,
individu dari generasi selanjutnya dididik untuk memahami apa, bagaimana, dan
untuk apa sistem politik yang berlangsung di negaranya masing-masing berfungsi
untuk diri mereka.
1.1 Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.
Budaya Politik
Budaya
politik adalah cara
individu berpikir, merasa, dan bertindak terhadap sistem politik serta
bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap atas peranan mereka sendiri
di dalam sistem politik. Budaya politik juga merupakan
sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat.Namun, setiap
unsur masyarakat berbeda budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum
dengan para elitnya. Seperti juga di indonesia.
Berikut ini adalah
beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk
lebih memahami secara teoritis,
1)
Budaya politik adalah aspek
politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan adat istiadat, Takhayul,
dan mitos. Semuanya dikenal dan diakui oleh sebagai besar masyarakat.
2)
Budaya politik dapat dilihat
dari aspek doktrin dan aspek generik. Yang pertama menekankan pada isi atau
materi, seperti sosialisme, demokrasi, nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisa bentuk, peranan, ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis,
terbuka atau tertutup.
3)
Hakikat dan ciri budaya
politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang mendasari
suatu pandangan hidup yang berhubungan masalah tujuan.
4)
Bentuk budaya politik
menyagkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militasi
seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian budaya
politik di atas tampaknya membawa kita pada suatu konsep yang memedukan dua
tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Orientasi yang bersifat
individual ini tidak berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita
menganggap masyarakat akan cenderung bergerak kearah individualisme. Jauh dari
anggapan yang demikian, pandangan ini memiliki aspek individu dalam orientasi politik
hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat yang secara
keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Adapun Pengertian Budaya Politik menurut para tokoh adalah sebagai berikut
1.
Albert Widjaya
Budaya Politik adalah aspek
politik dari system nilai-nilai yang terdiri dari ide, pengetahuan,
adat-istiadat, tahayul, dan mythos (250). Menurut Albert Wijaya, semua aspek
politik dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya Politik
member rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
2.
Almond dan Verba
Budaya Politik sebagai suatu
sikap orientasi yang khas warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam
bagiannya dan sikap terhadap peranan warga Negara yang ada dalam system itu.
3.
Rusadi Sumintapura
Budaya Politik adalah pola
tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati
oleh anggota suatu system Politik.
4.
Sidney Verba
Budaya Politik adalah suatu
system kepercayaan empiric, symbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang
menegakkan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
5.
Alan R Ball
Budaya Politik adalah suatu
susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat
yang berhubungan dengan system politik dan isu-isu politik.
6.
Austin Ranney
Budaya Politik adalah
seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama, sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik.
7.
Gabriel A Almond dan G Bingham Powell,Jr.
Budaya Politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu
dari populasi.
2.1Batasan Budaya Politik
Dari
pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut, ada sebuah benang merah yang
bisa disimpulkan untuk menunjukkan batasan mengenai konsep budaya politik.
Beberapa batasan budaya politik tersebut diantaranya adalah :
Budaya politik adalah sebuah konsep yang lebih
menekankan pada masalah perilaku non aktual seperti pandangan hidup, sikap
serta nilai dan kepercayaan.Hal ini lebih dominan daripada aspek
tindakan.Inilah mengapa Gabriel A. Almond menyimpulkan bahwa budaya politik
merupakan sisi psikologis dalam sistem politik. Dimana budaya politik ini
perannya sangat penting dalam proses perjalanan sebuah sistem politik.
Budaya politik
lekat identik dengan sistem politik. Hal ini ditunjukkan dengan bukti bahwa
pada saat budaya politik ini dibahas, maka tidak akan bisa terlepas dari
pembahasan mengenai sistem politik. Dalam sistem politik itu sendiri
berorientasi pada setiap komponen yang berasal dari komponen struktur,
sekaligus juga fungsi yang dijalankan dalam sebuah sistem politik itu sendiri.
Setiap orang akan memiliki orientasi yang berbeda dalam sebuah sistem politik,
dimana mereka akan memilih fokus orientasi pada sistem itu sendiri. Seperti
misalnya seseorang akan memiliki orientasi politik tersendiri jika mereka
berbicara tentang lembaga legislatif, eksekutif atau juga yudikatif.
Budaya politik
adalah sebuah gambaran konsep yang merepresentasikan mengenai komponen budaya
politik dalam batasan besar.Bisa juga menggambarkan mengenai kehidupan
masyarakat pada sebuah negara atau kawasan, dan tidak melihatnya secara parsial
atau individu. Batasan ini terkait dengan pengertian budaya politik sebagai
sebuah cermin perilaku masyarakat secara massal yang berperan dalam proses
penciptaan sistem politik yang ideal.
2.2 Komponen-Komponen Budaya
Politik
Almond dan
Powell mengatakan bahwa budaya politik adalah sebuah dimensi psikologis yang
berada pada sebuah sistem politik. Penjelasan akan pernyataan ini dikemukakan
oleh Ranney yang mengatakan bahwa kondisi ini terjadi karena budaya politik
berada dalam satu lingkup psikologis yang mendukung terselenggaranya konflik
politik. Dan oleh karenanya, terjadi sebuah proses pembuatan kebijakan politik.
Karena demikian kondisinya, maka komponen yang menjadi bagian budaya politik
terdiri dari beberapa unsur psikis masyarakat yang dibagi ke dalam beberapa unsur
kategori.
Dijelaskan
pula oleh Ranney, bahwa sebenarnya ditemukan dua komponen utama yang
terdapatdalam budaya politik.Dua komponen utama tersebut yaitu orientasi
kognitif dan juga orientasi afektif. Di sisi lain, Almond dan Verba menyatakan
secara lebih terperinci mengenai konsep yang dirumuskan Parsons dan Shils.
Parsons dan Shils menjelaskan mengenai beberapa klasifikasi tipe
orientasi.Menurut Almond dan Verba terdapat tiga komponen obyek dalam budaya
politik. Ketiganya yaitu :
1)
Orientasi
Kognitif
Pengetahuan
atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak
dan kewajiban selaku warganegara.
2)
Orientasi
Afektif
Perasaan
individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan
lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
3)
Orientasi
Evaluatif
Keputusan
dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal
melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat
pemilu.
Orientasi kognitif
adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga
negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan
umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai
tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat
pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini.
Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau
tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.
Orientasi
afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini
bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan,
diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya,
kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab itu, banyak
pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya
populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia,
kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor
Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya.
Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan
politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari.
Orientasi
Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam
bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B
memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di
dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar unjuk rasa untuk
mendukung seorang calon yang tengah ‘diserang’ oleh lawan politiknya,
semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si
politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari
orientasi kognitif dan afektif.
2.2 Tipe-tipe Budaya Politik
Menurut
Almond dan Verba, budaya politik memiliki tipe-tipe tersendiri. Melalui hasil
penelitian mereka di 5 negara, keduanya menyimpulkan bahwa terdapat 3 budaya
politik yang dominan terdapat di tengah individu. Tipe budaya politik sendiri
berarti jenis kecenderungan individu di dalam sistem politik. Tipe-tipe budaya
politik yang ada adalah :
1)
Budaya
Politik Parokial
Budaya
politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu
terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif
maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang
bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem
politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah
bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa
mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka,
agama mereka, ataupun daerah mereka.
Budaya
politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih
nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia,
suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan
sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita
kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut
bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia
sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak
mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.
2)
Budaya
Politik Subyek
Budaya
politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari
parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu
negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang
cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti
berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara emosional
mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah
membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab
mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat
berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat
apa-apa.
Budaya
politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat (strong
government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya
ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde
Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah
politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya.
Gejala seperti ini juga terjadi di Cina, Korea Utara, Kuba, atau sebagian
negara makmur seperti Arab Saudi, Singapura, ataupun Malaysia, yang sistem
politiknya belum sepenuhnya demokrasi.
3)
Budaya
Politik Partisipan
Budaya
politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya
ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa
mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak
misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan,
pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak.
Dalam budaya
politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik.
Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan
perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi
politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak
mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak bergabung ke dalam organisasi
sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup
berbangga hati.
Budaya
politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat
kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan
terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun
terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya
politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi
Liberal.
2.4 Budaya
Politik yang Berkembang di Indonesia
Sejak negara
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat ini
dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita
dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau
yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi
Parlementer.Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih
dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin.Ketiga, masa Republik
Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau
Demokrasi Pancasila.Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa
Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era
Reformasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari
setiap masa ke masa.Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula
stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang atau telah
berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan
kehidupan politiknya.Ada dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para
pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu negara.Karena
salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan
dengan sistem politik lainnya, seperti organisme dan individu misalnya.Kedua
kerangka kerja tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan
budaya politik. Dengan pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui
bagaimana struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik
bekerja. Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui
bagaimana perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang
dianut oleh negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi Winarno, 2008: 18).
Karena
pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba
sedikit mengulas mengenai perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi
Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi
dengan menggunakan kerangka kerja
pendekatan budaya politik.
1) Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan
mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya
politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat
melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa
politik yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana
dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan
rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah
sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para elite
Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih
nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu
terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana
keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators
memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite
mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada
tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya
politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya
budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan
kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi
aparatur negara yang semestinya melayani
kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial.Selain itu, orientasi
pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2)
Era
Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat
primordialisme seperti pada era sebelumnya.Ideologi masih tetap mewarnai
periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun
1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.Tokoh politik
memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom).Gagasan
tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin.Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan
politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu,
paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih
subur di kalangan elit-elit politiknya.Adanya sifat kharismatik dan
paternalistik yang tumbuh di kalangan elit
politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang
kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik,
akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan
merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal
kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan.Hal ini bisa dilihat
dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau
orang-orang yang kontra revolusi ataupun
kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah
ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya
sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah
juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada.Namun, saluran inputnya
dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional.Input-input yang masuk
melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output
yang berupa outputsimbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya
menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa
tidak dapat dianggap memiliki budaya politik
sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat
budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
3)
Era
Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik
yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan.
Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran
tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih
dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan
ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah
kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006: 200).
Sementara
itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan
dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi
dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek
mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan
di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS
(asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang
bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu
birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah
hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari
penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada
era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh
pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan
otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya
sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya
diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde
Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol
sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society
terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a)
Proyek di pegang pejabat.
b)
Promosi jabatan tidak melalui
prosedur yang berlaku (surat sakti).
c)
Anak pejabat menjadi pengusaha
besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d)
Anak pejabat memegang posisi
strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4)
Era
Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik
yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit
politik.Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat
berjalan dengan baik.Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik
Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun
tidak pada budaya politiknya.Menurut Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008),
budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya
politik yang berkembang di Indonesia.Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun
menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial).Kekuatan
orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai
pelayan publik di kalangan elit merupakan
salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008)
mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih
mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia
melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih
memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat
secara keseluruhan.
Dengan menguatnya
budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung
mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran.Reformasi pada tahun 1998 telah
memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya
budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di
kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa
mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik,
akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena
mereka masih memiliki mentalitas budaya politik
sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang
cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden
dalam Budi Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik
dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
1.
Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam
partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai
politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
2.
Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia
sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada
hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar
kepentingan politik.Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan
dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial
seperti negara, masyarakat, struktur
politik, sistem hukum, civil society, dsb.
3.
Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
a)
Bebas dari kemiskinan dan
kebebasan beragama
b)
Desentralisasi politik
Pada kenyataannya
yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya
sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian,
budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi
pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis.Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno
(2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan
fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi
pendirian sistem politik tersebut.
2.5 PengertianBudaya Demokrasi
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata demos artinya rakyat dan cratos/kratein
artinya pemerintahan/berkuasa. Pemerintahan demokrasi yang kokoh adalah
pemerintahan yang sesuai dengan pandangan hidup, kepribadian, dan falsafah bangsanya.
Pada masa Yunani Kunosudah berkembang demokrasi langsung, artinya seluruh
rakyat terlibat secara langsung dalam masalah kenegaraan. Hal ini terjadi
karena wilayah negara sempit dan penduduknya sedikit. Pada masa modern,
demokrasi langsung tidak dapat dijalankan karena wilayah negara cukup luas,
jumlah penduduk banyak, rakyat melalui suatu lembaga perwakilan (badan-badan
perwakilan rakyat) dapat menyalurkan aspirasinya dalam kenegaraan atau serimng
disebut demokrasi perwakilan.
Definisi Budaya Demokrasi :
1. Budaya
Demokrasi, adalah pola pikir, pola sikap, dan pola tindak warga
masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan antar manusia yang berintikan kerjasama, saling percaya,
menghargai keanekaragaman, toleransi, kesamaderajatan, dan kompromi.
2. International Commision of Jurist (ICJ),
demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh wn melalui wakil-wakil yg
dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses
pemilihan yg bebas.
3. Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
4. Giovanni Sartori, memandang
demokrasi sebagai suatu sistem di mana tak
seorangpun dapat memilih dirinya sendiri, tak seorangpun dapat menginvestasikan
dia dgn kekuasaannya, kemudian tidak dapat juga untuk merebut dari kekuasaan
lain dengan cara-cara tak terbatas dan tanpa syarat.
5. Ensiklopedi
Populer Politik Pembangunan Panca-sila, demokrasi adalah suatu pola pemerintahan dalam mana kekuasaan untuk
memerintah berasal dari mereka yang diperintah.
2.6Unsur-unsur
budaya demokrasi adalah :
Disini unsur budaya demokrasi dibagi menjadi tujuh unsur diantaranya.
1.
Kebebasan, adalah keleluasaan untuk
membuat pilihan terhadap beragam pilihan atau melakukan sesuatu yang bermamfaat
untuk kepentingan bersama atas kehendak sendiri tanpa tekanan dari pihak
manapun. Bukan kebebasan untuk melakukan hal tanpa batas. Kebebasan harus
digunakan untukhal yang bermamfaat bagi masyarakat, dengan cara tidak melanggar
aturan yang berlaku.
2.
Persamaan, adalah Tuhan menciptakan
manusia dengan harkat dan martabat yang sama. Di dalam masyarakat manusia
memiliki kedudukan yang sama di depan hukum,politik, mengembangkan
kepribadiannya masing-masing, sama haknya untuk menduduki jabatan pemerintahan.
3.
Solidaritas, adalah kesediaan untuk
memperhatikan kepentingan dan bekerjasama dengan orang lain. Solidaritas
sebagai perekat bagi pendukung demokrasi agar tidak jatuh kedalam perpecahan.
4.
Toleransi, adalah sikap atau sifat
toleran. Toleran artinya bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,
dll) yang bertentangan atau berbeda dengan pendirian sendiri.
5.
Menghormati Kejujuran, adalah
keterbukaan untuk menyatakan kebenaran, agar hubungan antar pihak berjalan baik
dan tidak menimbulkan benih-benih konplik di masa depan.
6.
Menghormati penalaran, adalah
penjelasan mengapa seseorang memiliki pandangan tertentu, membela tindakan
tertentu,dan menuntut hal serupa dari orang lain. Kebiasaan memberipenalaran
akan menumbuhkan kesadaran bahwa ada banyakalternatif sumber informasi dan ada
banyak cara untuk mencapai tujuan.
7.
Keadaban, adalah ketinggian tingkat
kecerdasan lahir-batin atau kebaikan budi pekerti. Perilaku yang beradab
adalah perilaku yang mencerminkan penghormatan terhadap dan mempertimbangkan
kehadiran pihak lain yang tercermin dalam sopan santun, dan beradab.
2.7 Prinsip-prinsip Budaya Demokrasi
Pertama
kali demokrasi diterapkan di kota Athena adalah demokrasi langsung. Akan
tetapi, demokrasi langsung tidak sesuai dengan perkembangan zaman, terutama
masa sekarang. Oleh karena itu, untuk zaman sekarang diterapkanlah demokrasi
perwakilan.
Tokoh
– tokoh yang mempunyai andil besar dalam memperjuangkan demokrasi, misalnya
John Locke (dari Inggris), Montesquieu (dari Prancis), dan Presiden Amerika
Serikat (Abraham Lincoln).
1.
John Locke
Beliau
menganjurkan perlu adanya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan Negara, yaitu:
1)
Kekuasaan legislative,
yaitu kekuasaan pembuat undang – undang.
2)
Kekuasaan eksekutif,
yaitu kekuasaan melaksanakan undang – undang.
3)
Kekuasaan federative,
yaitu kekuasaan untuk menetapkan perang dan damai, membuat perjanjian atau
persekutuan (aliansi) dengan Negara lain, atau membuat kebijaksanaan atau
perjanjian dengan semua orang atau badan diluar negeri.
2.
Montesquieu
Beliau
berpendapat kekuasaan Negara yang dalam melaksanakan kekuasaan atau kedaulatan
atas nama selruh rakyat untuk menjamin kepeningan rakyat harus terwujud dalam
pemisahan lembaga – lembaga Negara. Kekuasaan tersebut adalah:
1) Kekuasaan
legislative.
2) Kekuasaan
eksekutif.
3) Kekuasaan
yudikatif,
3.
Abraham Lincoln
Beliau
berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat (democracy is government of the people, by the
people, and for the people). Ada dua asas pokok tentang demokrasi, yaitu:
1) Pengakuan
partisipasi rakyat di dalam pemerintahan.
2) Pengakuan
hakikat dan martabat manusia.
Prinsip budaya demokrasi secara umum
meliputi :
a) Kekuasaan
suatu negara sebenarnya berada di tangan rakyat atau kedaulatan ada di tangan
rakyat.
b) Masing-masing
orang bebas berbicara, mengeluarkan pendapat, beda pendapat, dan tidak ada
paksaan.
Prinsip-prinsip
demokrasi Pancasila adalah :
a)
Kedaulatan di tangan rakyat
b)
Pengakuan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia
c)
Pemerintahan berdasar hukuk
(konstitusi)
d)
Peradilan yang bebas dan tidak
memihak
e)
Pengambilan keputusan atas
musyawarah
f)
Adanya partai plitik dan organisasi
sosial politik
g)
Pemilu yang demkratis.
2.8 Macam-macam Budaya Demokrasi
Dari segi
idiologi, demokrasi ada 2 macam :
1.
Demokrasi konstitusional (demokrasi
liberal), yaitu kekuasaan pemerintahan terbatas dan tidak banyak campur tangan
serta tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Kekuasaan
dibatasi oleh konstitusi. Penganut demokrasi ini adalah Negara-negara eropa
barat, Amerika serikat, India, pPakistan, Indonesia, Filipina, Singapura.
2.
Demokrasi Rakyat (Proletar) adalah
demokrasi yang berlandaskan ajaran komunisme dan marxisme. Demokrasi ini
tidak mengakui hak asasi warga negaranya. Demokrasi ini bertentangan
dengan demokrasi konstitusional. Demokrasi ini mencita-citakan kehidupan
tanpa kelas sosial dan tanpa kepemilikan pribadi. Negara adalah alat
untuk mencapai komunisme yaitu untuk kepentingan kolektifisme.
Berdasarkan
titik perhatiannya demokrasi ada 3 macam :
1.
Demokrasi Formal ( negara-negara
liberal), demokrasi menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik, tanpa
upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi.
2.
Demokrasi material (negara-negara
komunis), menitikberatkan pada upaya-upaya menghilangkan perbedaann pada bidang
ekonomi, kurang persamaan dalam bidang politik bahkan kadang dihilangkan.
3.
Demokrasi gabungan (negara-negara
nonblok), demokrasi yang menghilangkan kesenjangan ekonomi dan sosial,
persamaan dibidang politik, hukum.
2.9 PerkembanganBudaya Demokrasi di
Indonesia
Berikut adalah perkembangan demokrasi di Indonesia yang telah
ada mulai tahun 1945 hingga sekarang.
1.
Tahun 1945-1949
Ø Berlaku UUD 1945
Ø Sistem demokrasi
perlementer dengan maklumat pemerintah tanggal 14 Nopember 1945
2.
Tahun 1949-1959
Ø Berlaku konstitusi RIS
(27 desember 1949-15 agustus 1950) dan UUD sementara 1950 (15 agustus 1950-5
juli 1959)sistem demokrasi parlementer (liberal). akibat
yang ditimbulkan:
v Partai politik
mengutamakan kepentingan golongan
v Cabinet silih berganti
dalam waktu singkat
v Kehidupan politik tidak
stabil
v Pembangunan terhambat
3.
Tahun 1959-1965 (Orde
Baru
Ø Berlaku UUD 1945
Ø Sistem demokrasi
terpimpin, penyimpangan
yang terjadi
v Pengangkatan presiden
seumur hidup
v Rangkap jabatan
v Pembubaran partai politik
4. Tahun
1965-1998
Ø Berlaku UUD 1945
Ø Sistem demokrasi
pancasila, penyimpangan
yang terjadi
v Kekuasaan presiden
sangat besar
v Terjadi kolusi, korupsi
dan nepotisme
5. Tahun 1998-sekarang
Ø Berlaku UUD 1945
Ø Sistem demokrasi
pancasila, landasan
hukum demokrasi pancasila adalah sebagai berikut:
v Pancasila sila keempat
v Pembukaan UUD 1945
alinea ke-4 : Negara berkedaulatan rakyat
v Pasal 1 ayat 2 :
kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sesuai UUD
2.10 Pengertian Masyarakat Madani ( Civic Society )
Civic
society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil
atau masyarakat madani. Kata madani berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah
kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata “madaniyah”
yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat
yang beradap.
Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil
society) yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses
penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini
membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah
masyarakat sipil (civil society), pengertiannya, ciri-cirinya, sejaraha
pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta
unsur-unsur di dalamnya. Di bawah ini
adalah beberapa definisi masyarakat madani :
1.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang
oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
2.
Menurut Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup
interaksi sosial yang berada di luar pengaaruh negara dan model yang tersusun
dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga, asosiasi sukarela,
gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk lingkungan komunikasi antar warga
masyarakat.
3.
Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang
merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad SAW di
Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri
antara lain : egaliteran(kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan,
toleransi dan musyawarah.
4.
Menurut Ernest Gellner, Civil Society (CS) atau Masyarakat Madani
(MM)merujuk pada mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah
yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.
5.
Menurut Cohen dan Arato, CS
atau MM adalah suatu wilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi, politik
dan Negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-kelompok sosial yang
bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar lembaga resmi, menggalang
solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama (public good).
6.
Menurut Muhammad AS Hikam, CS atau MM adalah wilayah-wilayah kehidupan
sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporing),dan
kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan
norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
7.
Menurut M. Ryaas Rasyid, CS atau MM adalah suatu gagasan masyarakat yang
mandiri yang dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari
kelompok-kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta
lembaga-lembaga yang saling berhadapan dengan negara.
8.
Menurut kelompok kami, CS atau MM
adalah suatu konsep sosial kemasyarakatan yang mandiri dan independent dimana
elemen-elemen pendukungnya memiliki kemampuan (capability) untuk
merumuskan dan berperan aktif dalam menjalankan suatu tujuan bersama diluar
konteks pemerintahan dan kenegaraan yang baku.
2.11 Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Ciri-ciri
masyarakat madani berdasarkan definisi di atas antara lain :
a.
Menjunjung tinggi nilai, norma, dan
hukum yang ditopang oleh iman dan teknologi.
b.
Mempunyai peradaban yang tinggi (
beradab ).
c.
Mengedepankan kesederajatan dan
transparasi ( keterbukaan ).
d.
Free public sphere (ruang publik
yang bebas)
Ruang publik
yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki
akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul
serta mempublikasikan pendapat, berserikat,
berkumpul serta mempublikasikan
informasi kepada publik.
a)
Demokratisasi
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi:
v Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
v Pers yang bebas
v Supremasi hokum
v Perguruan Tinggi
v Partai politik
b)
Toleransi
Toleransi
adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap
sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam
masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat
yang lain yang berbeda.
c)
Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
Prof. Dr. M. A.S. Hikan menjelaskan ciri-ciri pokok
masyarakat madani di Indonesia antara lain :
1.
Kesukarelaan
2.
Keswasembadaan
3.
Kemandirian yang tinggi terhadap
negara.
4.
Keterkaitan pada nilai-nilai hukum
yang disepakati bersama.
Contoh
Kasus- Kasus yang terdapat pada masyarakat madani :
1.
Reformasi, Sebuah Kata KunciPemilihan
Umum (pemilu) yang dilangsungkan tanggal 7 Juni 1999 lalu adalah tonggak
penting dalam upaya Bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu otoritarian
dan menumbuhkan masyarakat madani yang demokratis. Peristiwa ini
merupakan perwujudan dari semangat Reformasi
yang dipekikkan mahasiswa Indonesia di awal dan pertengahan tahun 1998.
Kata Reformasi menjadi
kata kunci terhadap proses perubahan yang terjadi pada sebuah kondisi yang
stagnan, cenderung negatif dan memiliki pola yang menunjukkan gabungan antara
keinginan dan kondisi yang dialami. Reformasi akan menjadi sebuah alternatif yang
sangat penting terhadap proses perbaikan melalui sebuah perubahan, yang terjadi
secara perlahan-lahan ataupun cepat dan tak terbendung, secara evolusi ataupun
revolusi, namun kecenderungan reformasi identik dengan perubahan yang cepat
namun tepat dan terukur.
Untuk menentukan sebuah
tujuan reformasi tentunya memerlukan sebuah rencana dan langkah-langkah yang
strategis dan memiliki dampak terhadap perubahan yang diharapkan, bila
reformasi itu dilakukan pada tataran sosial tentunya dampak sosial juga diharapkan
akan terjadi dan berkesinambungan dengan dampak terhadap kondisi politik,
budaya dan ekonomi secara umum. Reformasi bukan merupakan gerakan chaos yang
liar tak terkendali dan tanpa rencana serta tidak memberikan dampak positif
terhadap kondisi masa kini, justru sebaliknya merupakan sebuah gerakan yang
terencana, sistematis dan terukur serta memiliki parameter yang jelas terhadap
perubahan yang akan dilakukan dan ukuran yang jelas terhadap dampak yang
ditimbulkannya.Demikian awal diskusi ini tentang sebuah kata yang banyak
disebut orang yaitu reformasi
2.
Masyarakat
Madani dan Lingkungan Hidup dalam contoh kasus Illegal Logging
Masyarakat Madani merupakan cita-cita bersama Bangsa dan Negara yang sadar
akan pentingnya suatu keterikatan antar komponen pendukungnya dalam terciptanya
Bangsa dan Negara yang maju dan mandiri. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut,
masyarakat madani sejatinya sadar dan peduli terhadap lingkungan hidup sebagai
tonggak pembangunan yang berkelanjutan (yang berwawasan lingkungan) yang
menyejahterakan kehidupan antargenerasi, disamping upaya pengentasan
kemiskinan, peningkatan daya saing, dan kesiapan menghadapi kecenderungan
globalisasi.
Dalam contoh kasus yang
kami angkat adalah mengenai kasus illegal logging di Indonesia yang semakin
marak dieksploitasi oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan dalam negeri
maupun dari luar negeri.Sebenarnya kasus illegal logging bukan kasus baru dalam
sejarah kelam rusaknya lingkungan di negeri ini.Awal mula terjadinya kasus
illegal logging adalah ketika pada masa penjajahan kolonial dimana kayu
dijadikan komoditas penting dalam mencukupi segala kebutuhan pihak-pihak
tertentu yang terkait pada masa itu untuk menjadikan kayu sebagai salah satu
produk pemenuh kebutuhan yang berharga. Melihat kondisi tersebut, beberapa
kalangan yang belum mempunyai kesadaran lingkungan yang tinggi kemudian mulai
memanfaatkan keadaan atas kebutuhan akan tersedianya kayu untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok dengan cara-cara melakukan penebangan yang tidak terkendali
dan tidak sesuai standar baku, diluar kemampuan sumberdaya hutan tersebut untuk
tumbuh dan berkembang kembali. Inilah yang menjadi awal terjadinya kasus
illegal logging di Indonesia.
Melihat semakin
menipisnya pasokan sumberdaya hutan tersebut, membuat para ahli dan pejabat
pemerintahan pada masa itu menetapkan regulasi-regulasi yang mengatur
pemafaatan, pengelolaan, distribusi dan pelestarian sumberdaya hutan khususnya
kayu di Indonesia demi menjaga agar pasokan kayu tetap terkontrol dan dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka akan sumberdaya hutan tersebut. Dengan
diterapkanya sistem regulasi yang ketat pada masa tersebut, mengakibatkan
jumlah penebangan hutan untuk diambil commodities kayunya semakin terkontrol
dan kasus illegal logging cenderung menurun meskipun tetap terjadi kasus
penebangan liar skala dalam kecil.
Tetapi selepas masa
penjajahan tersebut, pemanfaatan sumberdaya kayu hutan di Indonesia mulai
berngsur-angsur naik kembali akibat tidak diterapkannya lagi regulasi-regulasi
yang bersifat ketat warisan masa penjajahan tersebut, demi memenuhi kebutuhan
dalam dan luar negeri serta permintaan akan kayu hutan dan produk-produk
turunan. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam usahanya menaikan devisa
negara yang baru saja merdeka tersebut. Tetapi meskipun demikian, pemerintah
pada masa itu (hingga saat ini) masih berupaya membuat dan menerapkan
peraturan-peraturan pengganti yang sifatnya dirasakan oleh beberapa kalangan
baik masyarakat, akademisi, para ahli dan pengamat kebijakan tidak tegas dan
tidak mampu memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan lingkungan tersebut.
Dan pada akhirnya kasus yang sama kembali menimpa Bangsa ini. Permintaan akan
kebutuhan kayu yang besar menimbulkan keinginan beberapa pihak memanfaatkan dan
menggunakan cara-cara illegal yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku
dalam usaha mendapatkan keuntungan-keuntungan semata dan melupakan dampak
ekologis yang terjadi akibat penebangan dan pemanfaatan hasil hutan khususnya
kayu yang tidak terkendali dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Dari gambaran dan
contoh kasus yang telah dipaparkan, terlihat betapa lemahnya mekanisme
peraturan serta kesadaran semua pihak akan isu lingkungan hidup khususnya
mengenai illegal logging di Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi seringkali
bagaikan lingkaran setan yang saling berputar-putar dalam konteks keterkaitan
yang saling berhubungan. Di satu sisi pemerintah sebagai pengambil
kebijakan menginginkan terciptanya suatu kondisi lingkungan hutan yang lestari
(sustainable forest), tetapi di lain sisi pemerintah harus memenuhi permintaan
akan ketersediaan kayu dalam usaha menaikan pendapatan negara. Dan hal ini
makin menjadi dilema ketika pemerintah kesulitan dalam mengawasi dan menerapkan
peraturan dan perundang-undangan yang tegas dalam rangka menciptakan suatu
management hutan lestari (sustainable forest management) pada pihak-pihak yang
terkait khususnya bagi para pelaku illegal logging. Dan diluar komponen
pemerintahan pun kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan pun juga masih
rendah, yang memperparah kondisi bangsa ini.
Dalam hal inilah peran
Masyarakat Madani sangat dibutuhkan. Kita menyadari bahwa Masyarakat Madani
identik dengan masyarakat yang sadar dan peduli akan suatu hal yang berkaitan
dengan kepentingan bersama dan dalam cakupan antargenerasi, yang dalam hal ini
difokuskan mengenai lingkungan hidup. Maka untuk itu, masyarakat yang mulai
sadar akan pentingnya arti kelestarian lingkungan diharapkan mampu menjadi
salah satu faktor penggerak dan turut berpartisipasi mewujudkan transformasi
bangsa menuju masyarakat yang kita dambakan tersebut. Dan kita bisa melihat
usaha-usaha menuju ke arah tersebut semakin terbuka lebar. Tapi itu semua harus
dilandasi juga dengan kesadaran semua komponen bangsa, beberapa diantaranya
adalah komitmen dalam menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tanpa
pandang bulu, turut berperan aktif dalam mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah yang dirasa perlu untuk dikritisi tanpa ada suatu niatan
buruk, serta selalu mendorong berbagai pihak untuk turut berperan serta
dalam menjaga dan melestarikan lingkungan demi masa depan kita semua.
2.12 Masyarakat
Madani di Indonesia : Paradigma dan Praktik
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani) bahkan jauh
sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang
diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan
nasional dalam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, selain berperan sebagai
organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial,
organisasi berbasis islam, seperti Serikat Islam (SI), Nadlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang
penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia.Terdapat
beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya
bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia :
Pertama,
pandangan integrasi nasional dan politik.Pandangan ini menyatakan bahwa sistem
demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Kedua, pandangan
reformasi sistem politk demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk
membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi,
dalam tataran ini, pembangunan institusi politik yang demokratis lebih
diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonomi.
Ketiga,
paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan
demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua pandangan
yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi, berbeda dengan
dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran
politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.
Bersandar pada
tiga paradigma diatas, pengembangan demokrasi dan masyarakat madani selayaknya
tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut, sebaliknya untuk
mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan
gabungan strategi dan paradigma, setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan
acuan dalam pengembangan demokrasi di masa transisi sekarang melalui cara :
1.
Memperluas golongan menengah
melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi
kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi, dengan
pandangan ini, negara harus menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator
bagi pengembangan ekonomi nasional, tantangan pasar bebas dan demokrasi global
mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses
pengembangan masyarakat madani yang tangguh.
2.
Mereformasi sistem politik
demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga demokrasi yang ada berjalan
sesuai prinsip-prinsip demokrasi, sikap pemerintah untuk tidak mencampuri atau
mempengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan
salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.
3.
Penyelenggaraan pendidikan
politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara keseluruhan. Pendidikan
politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang dilakukan secara
terus-menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalu prinsip
pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari, oleh dan untuk warga negara.
2.13 Gerakan Sosial untuk Memperkuat Masyarakat
Madani (Civil Society)
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan sosial, gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar, dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik yang berada diranah negara dan gerakan ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yang melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu., gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan politik tersebut.
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan sosial, gerakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar, dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka terdapat gerakan politik yang berada diranah negara dan gerakan ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yang melihat political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu., gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan politik tersebut.
Berdasarkan
pemetaan diatas, secara empiris ketigaya dapat saling bersinergi, pada ranah
negara dapat menjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol dalam
pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial. Sebagai
contoh gerakan sosial oleh masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti
Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai
kaitan dengan kelompok atau parpol di ranah politik maupun kelompok bisnis pada
sisi yang lain.
2.14 Organisasi Non Pemerintah dalam Ranah Masyarakat Madani (Civil
Society)
Istilah
Organisasi Non Pemerintah adalah terjemahan NGO (Non-Governmental
Organization).Yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional, istilah
ini merujuk pada organisasi non negera yang mempunyai kaitan dengan organisasi
non pemerintah, istilah ini perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas
internasional.
Dalam arti
umum, pengertian organisasi non pemerintah mencakup semua organisasi masyarakat
yang berada diluar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk
oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah, karena cakupan
pengertiannya yang luas, penggunaan istilah organisasi non pemerintah sering
membingungkan dan juga bisa mengaburkan pengertian organisasi atau kelompok
masyarakat yang semata-mata bergerak dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi
masyarakat tingkat bawah, istilah organisasi non pemerintah bagi mereka yang
tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan pengertian tidak
menguntungkan. Pemerintah khususnya menolak menggunakan istilah itu dengan
alasan makna organisasi non pemerintah terkesan “ memperhadapkan “ serta
seolah-olah “ oposan pemerintah, pengertian organisasi-organisasi
kemasyarakatan lainnya yang bersifat non pemerintah, di dalamnya bisa termasuk
serikat kerja, kaum buruh, himpunan para petani atau nelayan, rumah tangga,
rukun warga, yayasan sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga, perkumpulan mahasiswa,
organisasi profesi, partai politik, atau pun asosiasi bisnis swasta.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya politik, budaya
demokrasi dan civil society sama-sama memiliki peran penting dalam suatu
lingkup kewarganegaraan dimana ketiga unsur tersebut mempunyai arti sebagai
berikut :
1. Budaya
politik merupakan system nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh
masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya,
seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya.
2. Secara
etimologis, demokrasi berasal dari kata yunani ‘demos’ yang berarti rakyat dan
‘kratos’ yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diartikan
sebagai ‘rakyat berkuasa’, yaitu keadaan Negara dimana dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, keputusan tertinggi berada
dalam keputusan bersama rakyat, rakyat bekuasa, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat
3. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil
society) yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses
penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini
membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah
masyarakat sipil (civil society